adalah
lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dahulu
sebelum Reformasi MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara, yang terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Daerah, dan Utusan
Golongan. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota
negara.
Anggota MPR tidak dipilih secara langsung oleh rakyat
melainkan berasal dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat atau anggota DPR dan anggota
DPD ex officio anggota MPR. Jumlah anggota MPR periode
2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132
anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) lahir seiring dengan berdirinya negara
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah
proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan
negara, sebelum terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam perkembangan sejarahnya, pada
pertengahan Oktober 1945, KNIP kemudian berubah menjadi semacam
parlemen, tempat Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggung jawab.
Hal ini, sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sistem
Presidensial ke sistem Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah
cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh
Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat
dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Keberadaan badan-badan
perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak terlepas dari keinginan para
pendiri negara bahwa negara yang didirikan adalah negara yang
demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota DPR,
ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Atas dasar itulah MPR
melaksanakan kedaulatan rakyat.
Mengingat fungsi dan kewenangan
MPR yang tinggi seperti mengubah Undang-Undang Dasar, mengangkat dan
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, maka para ahli hukum tata
negara menyebut MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pandangan ini
kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau
Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Meskipun demikian, sejarah menunjukkan
bahwa negara Indonesia baru membentuk MPR yang bersifat sementara
setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sedangkan MPR yang
dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum baru terlaksana pada tahun
1971.
Sejak terbentuknya, baik MPRS maupun MPR telah memberikan
sumbangan yang besar bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai sebuah
lembaga, MPR juga tidak luput dari pasang surut seiring dengan
perjalanan sistem ketatanegaraan. Di masa lalu, MPR begitu kuat
posisinya, begitu besar tugas dan kewenangannya bahkan disebut sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat.
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan reformasi
konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak
menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah
reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang
Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara
terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap
tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan
rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal
1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” ,
setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan
demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya
oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan
oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas,
dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945,
yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara
yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam
perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan
ketatanegaraan Indonesia.
Tugas, wewenang, dan hak
Tugas dan wewenang MPR antara lain:
- Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
- Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
- Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
- Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
- Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
Anggota
MPR memiliki hak mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, menentukan
sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan, hak imunitas, dan hak
protokoler.
Setelah Sidang MPR 2003, Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi oleh MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
- sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum
mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu
diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai
mufakat.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas: Pimpinan, Panitia Ad Hoc, dan Badan Kehormatan.
Pimpinan
MPR terdiri atas seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih
dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR.
Pimpinan MPR periode 2009–2014 adalah:
- Ketua: Taufiq Kiemas (F-PDIP)
- Wakil Ketua: Hajriyanto Y. Thohari (F-PG)
- Wakil Ketua: Melani Leimena Suharli (F-PD)
- Wakil Ketua: Lukman Hakim Saifudin (F-PPP)
- Wakil Ketua: Ahmad Farhan Hamid (Kelompok DPD)
Kedudukan
Sebelum perubahan UUD 1945
Berdasarkan
UUD 1945 (sebelum perubahan), MPR merupakan lembaga tertinggi negara
sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Setelah perubahan UUD 1945
Perubahan
UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang
MPR. Kini MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara
dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR,
DPD, BPK, MA, dan MK.
MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan
untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan
Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan
Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan
Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan
Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal
ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang
telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan.
2 komentar:
makasih info nya
ok sama sama.........
Posting Komentar