ziddu

Senin, 22 November 2010

Perbankan Bermasalah


Abstrak
Upaya hukum penyelesaisan kredit perbankan bermasalah berupa eksekusi barang jaminan berdasarkan
Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 224 HIR/256 Rbg, Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, Undang-
Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 dan perikatan lainnya yang dibuat antara bank dengan pemilik barang
jaminan atau penanggung hutang, dalam praktik belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena
adanya kendala dan faktor-faktor penghambat, baik yang datang dari unsur manusia yang terlibat maupun
unsur ketidakpastian dari ketentuan hukum yang mengaturnya.

Penggunaan lembaga penyanderaan (gijzeling) yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR
dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg diharapkan dapat menjadi salah satu sarana dalam upaya
penyelesaian kredit perbankan bermasalah, tetapi ternyata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 2/1964 tanggal 22-01-1964 dan Nomor 4 tahun 1975 tanggal 1-12-1975 ketentuan-ketentuan
tersebut telah dinyatakan dihapus dan tidak diberlakukan lagi dengan alasan bertentangan dengan
perikemanusiaan. Ditinjau dari asas Lax Superior derogat legi inferiors, Surat Edaran Mahkamah Agung
yang berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tidak termasuk salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, Surat Edaran tersebut tidak dapat menghapus ataupun tidak memberlakukan ketentuan
HIR dan Rbg yang merupakan peraturan yang sederajat Algement Maatregel van Bestuur dan ordonansi
yang menurut tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini setingkat dengan undangundang.

Dari segi kriteria orang yang disandera, mengacu pada bunyi Pasal 209 ayat (1) HIR dan Pasal 242 ayat (1)
Rbg, penyanderaan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila karena yang dikenakan adalah orang miskin
yang tidak ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi keputusan pengadilan, tetapi dari segi
kemanfaatannya bagi masyarakat substansi lembaga penyanderaan dikaitkan dengan Sila Kedua Pancasila
"Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang menjamin adanya Justitie Protectiva dan Justitia Vindicativa
penyanderaan terhadap debitor yang tidak beritikad baik tidak bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila.
Diberlakukannya kembali ketentuan hukum mengenai penyanderaan akan membantu penyelesaian kredit
perbankan bermasalah karena akan berfungsi selaku sarana social control sekaligus social engineering
terhadap perilaku debitor dan kreditor.

Agar lembaga penyanderaan dapat menjadi sarana yang efektif dalam upaya penyelesaian kredit perbankan
bermasalah, perlu diadakan reformasi ketentuan yang mengatur terutama mengenai objek yang dapat
dikenakan.

Tidak ada komentar: